MAKALAH HUKUM DAGANG
(SEJARAH LAHIRNYA HUKUM DAGANG)
Dosen Pengampu: Eka Yuliastuti, MH
Disusun
oleh:
NAMA :
1. BISRI MUSTOFA (1177958)
2.
PUTRI DIAH PARAMITA (1178958)
PRODI : PBS/A
SMT : IV
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGeRI
STAIN JURAI SIWO METRO
TAHUN 2012/2013
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kemampuan kepada hambanya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Eka Yuliastuti, MH selaku dosen mata kuliah Hukum Dagang yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada kami, sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat kami harapkan, atas saran dan kritiknya penyusun ucapkan terimakasih.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum Dagang.............................................................. 3
B. Sejarah Hukum Dagang Internasional............................................. 3
1. Hukum Dagang di Romawi-Jerman....................................... 3
2. Hukum Dagang di Perancis.................................................... 4
3. Hukum Dagang di Belanda.................................................... 6
C. Sejarah Lahirnya Hukum Dagang di Indonesia............................... 7
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Zaman
dahulu, tatkala manusia hidup dalam alam primitif, bentuk perdagangan yang ada
adalah dagang tukar (bentuk perdagangan yang pertama). Jika seseorang ingin
memiliki sesuatu yang tidak dapat dibuatnya sendiri, maka ia akan berusaha
memperolehnya dengan cara bertukar, yakni dengan sesuatu barang yang tidak
perlu baginya. Demikianlah hanya barang dengan barang sajalah yang
dipertukarkan (pertukaran in natura)
misalnya tembakau dengan padi. Pertukaran-pertukaran semacam ini hanyalah suatu
pertukaran yang terbatas sekali, perhubungan pertukaran yang tetap, suatu pasar
belum ada.
Dimana dalam dagang tukar ini
terdapat berbagai kesulitan, seperti orang yang satu harus memiliki barang yang
diminta oleh orang lainnya dan nilai pertukarannya kira-kira harus sama. Barang
yang dipertukarkan harus dapat dibagi-bagi. Lagi pula semakin banyak kebutuhan
manusia, akan semakin banyak pula kesulitan yang terjadi dalam pertukaran itu.
Oleh karena itu, dengan segera orang memakai beberapa benda untuk membandingkan
nilai segala barang lain dengan nilai beberapa benda tertentu. Disamping itu,
benda tersebut juga harus disukai oleh umum. Benda-benda yang khusus
dipergunakan untuk dipertukarkan dengan barang-barang yang diperlukan disebut
alat tukar (garam, kulit kerang, potongan logam, dan lain-lain).
Sebenarnya menurut
penyelidikan-penyelidikan yang paling baru, sejarah lembaga hukum usianya sudah
sama tua dengan sejarah manusia sendiri. Oleh sebab itu acara tentang
lembaga-lembaga hukum pun sepatutnya bermula juga dari saat manusia-manusia
yang pertama.
Permulaan hukum internasional dapat kita lacak
kembali mulai dari wilayah Mesopotamia pada sekitar tahun 2100 SM, dimana telah
ditemukannya sebuah perjanjian pada dasawarsa abad ke-20 yang ditandatangani
oleh Ennamatum, pemimpin Lagash dan pemimpin Umma. Dalam abad pertengahan
ketika bangsa Romawi sedang mengalami masa kejayaan, Hukum Romawi yang pada
waktu itu dianggap paling sempurna dan telah banyak digunakan di berbagai
negara. Byzantum sebuah kota di
Italia menjadi pusat perniagaan. Dalam perniagaan yang semakin ramai timbullah
hal-hal yang tidak lagi dapat diselesaikan dengan hukum Romawi. Persoalan
dangan dan perselisihan antara pedagang terpaksa harus deselesaikan oleh mereka
sendiri.
Pada makalah ini kami akan membahas tentang sejarah
hukum dagang yang bermula dari sejarah hukum dagang internasional dan kemudian
di akhiri dengan sejarah hukum dagang di Indonesia. Sejarah hukum dagang
internasional bermula dari Romawi dan Yunani, karena hampir dari seluruh dunia
ini dapat kita jumpai unsur-unsur Romawi dan Yunani. Walaupun pengaruh bangsa
Romawi dan Yunani tidaklah mengambil alih akan kedudukan hukum di negara
lainnya. Sebab dengan adanya proses terjadilah percampuran pandangan-pandangan
hukum yang datang dengan pandangan-pandangan hukum yang menerimanya. Hal ini
terlihat dengan diadakannya kodifikasi akan hukum dagang yang berlaku disetiap
negara.
B.
Rumusan Masalah
Saat
kita berbicara masalah hukum dagang, tentunya kita akan bertanya-tanya tentang
bagaimana sejarah lahirnya hukum dagang itu sendiri. Pada makalah ini kami akan
membahas tentang sejarah hukum dagang internasional yang bermula pada bangsa
Romawi dan bagaimana sejarah hukum dagang di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Dagang
Hukum
dagang timbul karena adanya kaum pedagang. Hukum dagang ialah hukum yang
mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh
keuntungan. atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan
hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan. Hukum dagang juga bisa
dikatakan hukum perdata khusus bagi kaum pedagang.
B.
Sejarah Hukum Dagang Internasional
Dibawah ini akan dijelaskan beberapa sejarah hukum
dagang dari Internasional, diantaranya:[1]
- Hukum Dagang di Romawi-Jerman
Pada awalnya
hukum yang berlaku di masing-masing negara di Eropa
Kontinental adalah hukum kebiasaan. Namun dalam perkembangan jaman
hukum kebiasaan tersebut menjadi lenyap oleh karena adanya penjajahan oleh
bangsa Romawi
dan adanya anggapan bahwa hukum Romawi lebih sempurna daripada
hukum asli negara mereka sendiri, sehingga diadakanlah resepsi
(perkawinan/percampuran) hukum.
Hukum Romawi dianggap lebih
sempurna karena sejak abad ke-1 ahli hukum Yunani Gajus Ulpanus telah
menciptakan serta mempersembahkan suatu sistem hukum kepada bangsa dan
negaranya, bahkan pada abad ke-6, Kaisar Romawi
Timur Justinian I dapat menyajikan kodifikasi hukum Romawi dalam kitab yang
diberi nama Corpus Juris Civils. Anggapan hukum Romawi sempurna timbul
atas hasil penelitian para Glossatoren (pencatat/peneliti) dalam abad
pertengahan.
Faktor
penyebab lainnya hukum Romawi
diresepsi oleh negara-negara di Eropa
Kontinental adalah karena banyaknya mahasiswa dari Eropa Barat dan
Utara yang belajar khususnya hukum Romawi di Perancis Selatan
dan di Italia yang pada saat itu merupakan pusat kebudayaan Eropa
Kontinental. Sehingga para mahasiswa tersebut setelah pulang dari
pendidikannya mencoba menerapkannya dinegaranya masing-masing walaupun hukum
negara asalnya telah tersedia.
Selain itu
kepercayaan pada Hukum alam
yang asasi juga merupakan faktor yang mendukung diresepsinya hukum Romawi, karena hukum alam
dianggap sempurna dan selalu berlaku kapan saja dan di mana saja. Hukum alam
ini pada saat itu selalu disamakan dengan hukum Romawi.
- Hukum Dagang di Perancis
Sebelum
adanya unifikasi hukum oleh Kaisar Napoleon Bonaparte,
Hukum yang berlaku di Perancis
bermacam-macam yaitu hukum Germania (Jerman) dan hukum Romawi. Di bagian utara
dan tengah berlaku hukum lokal (pays de droit coutumier) yakni hukum
kebiasaan Perancis
kuno yang berasal dari hukum Jerman,
sedangkan pada daerah selatan yang berlaku adalah hukum Romawi (pays de droit
ecrit) yakni telah dikodifikasi dalam Corpus Juris Civils dari Kaisar Romawi
Justinian I. Di samping hukum perkawinan adalah hukum yang
ditetapkan oleh Gereja Katolik ialah hukum Kanonik
dalam Codex Iuris Canonici dan berlaku di seluruh Perancis.
Dengan
berlakunya berbagai hukum tersebut, maka di Perancis dirasakan tidak
adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum. Oleh karena itu timbul kesadaran
akan pentingnya kesatuan hukum/unifikasi hukum. Unifikasi hukum ini akan
dituangkan ke dalam suatu buku yang bernama Corpus de lois. Gagasan
unifikasi hukum ini sesungguhnya telah timbul sejak abad XV (Raja Louis XI)
yang kemudian dilanjutkan oleh berbagai parlemen propinsi pada abad XVI dan
para ahli hukum seperti Charles Doumolin (1500 – 1566), Jean Domat (1625 –
1696), Robert Joseph Pothier (1699 – 1771), dan Francois Bourjon.
Namun pada
akhir abad XVIII dapat diterbitkan tiga buah ordonansi mengenai hal-hal yang
khusus dan yang diberi nama ordonansi daguesseau. Ordonansi yang dimaksud
adalah L’ordonance sur les donations (1731), L’ordonance sur les
testaments (1735), dan L’ordonance sur les substituions fideicommisaires
(`1747).
Tanggal 21
Maret 1804 terwujudlah kodifikasi Perancis dengan nama Code
Civil des Francais yang diundangkan sebagai Code Napoleon pada tahun
1807. Kodifikasi hukum ini merupakan karya besar dari Portalis selaku anggota
panitia pembentuk kodifikasi hukum tersebut, selain itu kodifikasi hukum ini
merupakan kodifikasi hukum nasional yang pertama dan terlengkap serta dapat
diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada. Sehingga pada saat itu
timbulah paham Legisme dengan mottonya “Di luar undang-undang tidak ada
hukum”.
Sumber hukum
kodifikasi tersebut merupakan campuran asas-asas hukum Jerman dan hukum Gereja (hukum Kanonik)
yaitu hukum kebiasaan (coutumes), terutama kebiasaan Paris (coutume
de Paris), ordonansi-ordonansi Daguesseau, tulisan-tulisan dari pakar hukum
seperti Poithier, Domat, dan Bourjon, serta hukum yang dibentuk sejak revolusi Perancis sampai terbentuknya
kodifikasi hukum tersebut.
Dari uraian
tersebut di atas dapat dikatakan bahwa di negara Perancis yang semula
memberlakukan bermacam-macam hukum dengan berbagai tahap, akhirnya pada tahun
1807 dapat memproklamirkan/diundangkan buku Code Civil des Francais atau
Code Napoleon yang merupakan kodifikasi hukum yang pertama di dunia.
- Hukum Dagang di Belanda
Seperti
halnya di Perancis,
di negara Belanda,
hukum yang mula-mula berlaku adalah hukum kebiasaan yaitu hukum Belanda kuno. Namun akibat
penjajahan Perancis
(1806 – 1813) terjadilah perkawinan hukum Belanda kuno dengan Code
Civil.
Tahun 1814,
setelah Belanda merdeka
dibentuklah panitia yang dipimpin oleh J.M. Kemper untuk menyusun kode hukum Belanda berdasarkan Pasal
100 Konstitusi Belanda.
Konsep kode hukum Belanda
menurut Kemper lebih didasarkan pada hukum Belanda kuno, namun tidak
disepakati oleh para ahli hukum Belgia (pada saat itu Belgia masih bagian dari
negara Belanda), karena mereka
lebih menghendaki Code Napoleon sebagai dasar dari konsep kode hukum Belanda.
Setelah
Kemper meninggal (1824), ketua panitia diganti oleh Nicolai dari Belgia.
Akibatnya kode hukum Belanda
sebagian besar leih didasarkan pada Code Napoleon dibandingkan hukum
Belanda kuno. Namun demikian susunannya tidak sama persis dengan Code
Napoleon, melainkan lebih mirip dengan susunan Institusiones dalam Corpus
Juris Civils yang terdiri dari empat buku.
Dalam hukum
dagang Belanda tidak berdasar
pada hukum Perancis
melainkan berdasar pada peraturan-peraturan dagang yang dibuat sendiri yang
kemudian menjadi himpunan hukum yang berlaku khusus bagi para golongan
pedagang. Sejarah perkembangan hukum dagang Belanda ini sangat
dipengaruhi oleh perkembangan hukum dagang yang di Perancis Selatan dan di
Italia.
Sampai
meletusnya Revolusi Perancis,
hukum dagang hanya berlaku bagi golongan pedagang saja (kelompok gilde).
Perkembangan hukum dagang ini cepat sekali yaitu sebagai berikut pada abad XVI
– XVII adanya Pengadilan Saudagar guna menyelesaikan perkara-perkara
perniagaan, pada abad XVII adanya kodifikasi hukum dagang yang belum sepenuhnya
dilaksanakan, tahun 1673 dibuat Ordonance du Commerce oleh Colbert, dan
tahun 1681 lahir Ordonance du Marine.
Sesudah
revolusi Perancis,
kelompok gilde dihapus dan hukum dagang juga diberlakukan untuk yang bukan
pedagang, sehingga hukum dagang dan hukum perdata menjadi tida terpisah. Walau
dalam kenyataannya pemisahaan tersebut tetap terjadi.
Mengenai
kodifikasi dapat diketengahkan, bahwa maksud dari kodifikasi adalah agar adanya
kepastian hukum secara resmi dalam suatu sistem hukum tertentu. Akan tetapi
masyarakat terus berkembang, sehingga hukumnya dituntut untuk ikut terus
berkembang. Dengan metode kodifikasi dalam suatu sistem hukum yang terjadi
adalah hukum selalu tertinggal di belakang perkembangan masyarakat, karena
banyak masalah-maslaah yang tak mampu diselesaikan oleh kodifikasi hukum.
Kodifikasi
tidak lagi dianggap sebagai suatu produk yang dapat mengatur masyarakat secara
keseluruhan dan secara sempurna, melainkan masih tercipta kekosongan hukum
dalam arti masih banyak hal-hal yang belum diatur. Maka alam menyelesaikan
masalah-masalah yang belum diatur tersebut dipergunakan yurisprudensi dan
penafsiran teleologis di samping kodifikasi. Meskipun di negara Belanda tidak berlaku asas
stare decisses seperti di Inggris, yurisprudensi tetap dapat terjamin
karena adanya kontrol dari pengadilan yang lebih tinggi terhadap pengadilan
yang lebih rendah.
Dengan
demikian bila dibandingkan dengan perkembangan hukum di Inggris, maka
perkembangan hukum di Belanda
adalah terbalik. Mula-mula kodifikasi yang kemudian menjadi undan-undang
menjadi bukanlah satu-satunya sumber hukum (legisme), karena kodifikasi tidak
dapat menyelesaikan masalah-masalah yang timbul kemudian, selain itu
yurisprudensi juga mempunyai tempat yang penting dalam sistem hukum Belanda.
C.
Sejarah Lahirnya Hukum Dagang di Indonesia
Pembagian
Hukum privat (sipil) ke dalam Hukum Perdata dan Hukum Dagang sebenarnya
bukanlah pembagian yang asas, tetapi pembagian sejarah dari Hukum Dagang.
Bahwa
pembagian tersebut bukan bersifat asasi, dapat kita lihat dalam ketentuan yang
tercantum dalm pasal 1 KUHD yang menyatakan: "Bahwa peraturan-peraturan KUHS dapat juga dijalankan dalam
penyelesaian soal-soal yang disinggung dalam KUHD terkecuali dalam penyelesaian
soal-soal yang semata-mata diadaka oleh KUHD itu.”
Kenyataan-kenyataan
lain yang membuktikan bahwa pembagian itu bukan pembagian asasi adalah:
- Perjanjian jual beli yang merupakan perjanjian terpenting dalam bidang perdagangan tidaklah ditetapkan dalam KUHD.
- Perjanjian pertanggungan (asuransi) yang sangat penting juga bagi soal keperdatan ditetapkan dalam KUHD.
Adapun
perkembangan Hukum Dagang sebenarnya telah dimulai sejak abad pertengahan di
Eropa, kira-kira tahun 1000 sampai tahun 1500. Asal mula perkembangan hukum ini
dapat dihubungkan dengan terjadinya kota-kota Eropa Barat. Pada zaman itu di
Italia dan Perancis Selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan
(Genua, Florence, Vennetia, Marseille, Barcelona dan lain-lain).[2]
Hukum
Romawi (Corpus Iuris Civilis)
ternyata tidak dapat menyelesaikan seluruh perkara-perkara yang timbul di
bidang perdagangan. Oleh karena itulah di kota-kota Eropa Barat disusun
peraturan-peraturan hukum baru yang berdiri sendiri disamping hukum Romawi yang
berlaku.
Hukum
yang baru ini berlaku bagi golongan pedagang dan disebut "Hukum
Pedagang" (Koopmansrecht).
Kemudian pada abada ke-16 dan ke-17 sebagian besar kota di Perancis mengadakan
pengadilan-pengadilan istimewa khusus menyelesaikan perkara-perkara di bidang
perdagangan (pengadilan pedagang).
Hukum
pedagang ini pada mulanya belum merupakan unifikasi
(berlakunya satu sistem hukum untuk seluruh daerah), karena berlakunya masih
bersifat kedaerahan. Tiap-tiap daerah mempunyai hukum pedagangan
sendiri-sendiri yang berlainan satu sama lainnya. Kemudian disebabkan bertambah
eratnya hubungan perdagangan antar daerah, maka dirasakan perlu adanya kesatua
hukum diantara hukum pedagang ini.
Oleh
karena itu di Perancis pada abad ke 17 diadakanlah kodifikasi dalam hukum
pedagang; Menteri Keuangan dari Raja Louis XIV (1643-1715) yaitu Colbert membuat suatu peraturan "Ordonance Du Commerce" (1673).
Dan pada tahun 1681 dibuat Ordonnance de
la Marine.[3]
Peraturan
ini mengatur hukum pedagang ini sebagai hukum untuk golongan tertentu yakni
kaum pedagang. Ordonance Du Commerce
ini pada tahun 1681 disusul degan peraturan lain yaitu "Ordonansi De La Marine" yang mengatur hukum perdagangan
laut (untuk pedagang-pedagang kota pelabuhan).
Pada
tahun 1807 di Perancis di samping adanya "Code
Civil Des Francais" yang mengatur Hukum Perdata Perancis, telah dibuat
lagi suatu kitab undang-undang Hukum Dagang tersendiri yakni "Code De Commerce".
Dengan
demikian pada tahun 1807 di Perancis terdapat hukum dagang yang dikodifikasikan
dalam Code De Commerce yang
dipisahkan dari Hukum Perdata yang dikodifikasikan dengan Code Civil. Code De Commerce ini membuat peraturan-peratuan hukum
yang timbul dalam bidang perdagangan sejak zaman pertengahan. Adapun yang
menjadi dasar bagi penyusun Code De
Commerce (1807) itu antara lain: Ordonance
de Commerce (1673) dan Ordonance de
La Marine (1671) tersebut. Kemudian kodifikasi-kodifikasi Hukum Perancis
tahun 1807 (yakni Code Civil dan Code Commerce) dinyatakan berlaku juga
di Netherland pada tahun 1838.
Atas
perintah Napoleon, hukum yang berlaku bagi pedagang dibukukan dalam sebuah buku
Code De Commerce (tahun 1807).
Disamping itu, disusun kitab-kitab lainnya, yakni Code Civil dan Code Penal.
Kedua buku tersebut dibawa dan berlaku di Belanda dan akhirnya dibawa ke
Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 1809 Code
De Commerce (Hukum Dagang) berlaku di Negeri Belanda.[4]
Dalam
pada itu Pemerintah Netherland menginginkan adanya hukum dagang sendiri; dalam usul
KUHD Belanda dari Tahun 1819 direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas tiga
kitab akan tetapi di dalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang
menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dibidang perdagangan akan tetapi
perkara-perkara dagang diselesaikan di pengadilan biasa.
Usul
KUHD Belanda inilah yang kemudian disahkan menjadi KUHD Belanda tahun 1838.
Akhirnya, berdasarkan asas konkordasi, maka KUHD Nederland 1838 ini kemudian menjadi contoh
bagi pembuatan KUHD Indonesia 1848.
Pada
awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seiring berjalannya
waktu hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga
terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah
berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Pada
akhir abad ke-19, Prof. Molengraaff merencanakan suatu Undang-Undang Kepailitan
yang akan menggantikan Buku III dari KUHD Nederland. Rancangan Molengraaff ini
kemudian berhasil dijadikan Undang-Undang Kepailitan tahun 1893 (berlaku pada
1896).
Dan
berdasarkan asas Konkordansi pula, perubahan ini diadakan juga di
Indonesia pada tahun 1906. Pada tahun 1906 itulah Kitab III KUHD Indonesia
diganti dengan Peraturan Kepailitan yang berdiri sendiri (di luar KUHD);
sehingga semenjak tahun 1906 KUHD Indonesia hanya terdiri atas dua Kitab saja, yakni:
"Tentang Dagang Umumnya"
dan Kitab II berjudul "Tentang
Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban yang Tertib dari Pelayaran".
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Hukum dagang pada awalnya berasal dari bangsa romawi
kuno yang terus berkembang didaerah Eropa Barat yaitu Italia dan Perancis Selatan,
hukum dagang dibelanda bermula dari hukum kebiasaan. Karena terjadi penjajahan
oleh bangsa perancis, maka terjadilah percampuran antara hukum kebiasaan (Hukum
Belanda Kuno) dengan hukum Code Civil. Pemerintah Netherland menginginkan
adanya hukum dagang sendiri. dalam usul KUHD Belanda dari Tahun 1819
direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas tiga kitab akan tetapi di dalamnya
tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara yang
timbul dibidang perdagangan akan tetapi perkara-perkara dagang diselesaikan di
pengadilan biasa. Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian disahkan menjadi KUHD
Belanda tahun 1838. Akhirnya, berdasarkan asas konkordasi, maka KUHD Nederland 1838 ini kemudian dijadikan contoh
bagi pembuatan KUHD Indonesia 1848. Dan berdasarkan asas Konkordansi pula,
perubahan ini diadakan juga di Indonesia pada tahun 1906. Lalu dengan asas
konkordansi hukum dagang di Indonesia di ganti dengan WvK, dan BW.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, Farida. 2009. Hukum Dagang. Jakarta: Sinar Grafika.
Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Masriani, Yulies Tiena.
2004. Pengantar Hukum Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika.
http://basisme1484.wordpress.com/2010/01/06/pengetahuan-hukum-seri-sejarah-dan-perkembangan-hukum-romawi-germania-jerman/,
diunduh pada 21-Maret-2013.
thx ya sangat membantu postingan blognya :D
BalasHapusTrima kasih infonya ka, tugas kampus suruh ngafalin ini smua😢
BalasHapusterima kasih ya dengan adanya info seperti ini kita dapat saling membantu dalam mengerjakan tugas kuliah kita.semoga bermanfaat juga bagi yang lain ya.
BalasHapus