Selasa, 23 Juli 2013

Makalah Hukum Dagang - Sejarah Lahirnya Hukum Dagang di Indonesia



MAKALAH HUKUM DAGANG
(SEJARAH LAHIRNYA HUKUM DAGANG)
Dosen Pengampu: Eka Yuliastuti, MH


Description: Description: Logo_STAIN_Jurai_Siwo_Metro_Lampung (2).jpg


 
Disusun oleh:

NAMA            : 1. BISRI MUSTOFA                    (1177958)
                          2. PUTRI DIAH PARAMITA      (1178958)
PRODI            : PBS/A
SMT                : IV


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGeRI
STAIN JURAI SIWO METRO
TAHUN 2012/2013



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kemampuan kepada hambanya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya.

 Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Eka Yuliastuti, MH selaku dosen mata kuliah Hukum Dagang yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada kami, sehingga tugas ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat kami harapkan, atas saran dan kritiknya penyusun ucapkan terimakasih.



 

                                                                                                Penyusun









DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii

BAB I      PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................ 2

BAB II    PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Dagang.............................................................. 3
B.     Sejarah Hukum Dagang Internasional............................................. 3
1.    Hukum Dagang di Romawi-Jerman....................................... 3
2.    Hukum Dagang di Perancis.................................................... 4
3.    Hukum Dagang di Belanda.................................................... 6
C.     Sejarah Lahirnya Hukum Dagang di Indonesia............................... 7

BAB III   PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Zaman dahulu, tatkala manusia hidup dalam alam primitif, bentuk perdagangan yang ada adalah dagang tukar (bentuk perdagangan yang pertama). Jika seseorang ingin memiliki sesuatu yang tidak dapat dibuatnya sendiri, maka ia akan berusaha memperolehnya dengan cara bertukar, yakni dengan sesuatu barang yang tidak perlu baginya. Demikianlah hanya barang dengan barang sajalah yang dipertukarkan (pertukaran in natura) misalnya tembakau dengan padi. Pertukaran-pertukaran semacam ini hanyalah suatu pertukaran yang terbatas sekali, perhubungan pertukaran yang tetap, suatu pasar belum ada.
            Dimana dalam dagang tukar ini terdapat berbagai kesulitan, seperti orang yang satu harus memiliki barang yang diminta oleh orang lainnya dan nilai pertukarannya kira-kira harus sama. Barang yang dipertukarkan harus dapat dibagi-bagi. Lagi pula semakin banyak kebutuhan manusia, akan semakin banyak pula kesulitan yang terjadi dalam pertukaran itu. Oleh karena itu, dengan segera orang memakai beberapa benda untuk membandingkan nilai segala barang lain dengan nilai beberapa benda tertentu. Disamping itu, benda tersebut juga harus disukai oleh umum. Benda-benda yang khusus dipergunakan untuk dipertukarkan dengan barang-barang yang diperlukan disebut alat tukar (garam, kulit kerang, potongan logam, dan lain-lain).
            Sebenarnya menurut penyelidikan-penyelidikan yang paling baru, sejarah lembaga hukum usianya sudah sama tua dengan sejarah manusia sendiri. Oleh sebab itu acara tentang lembaga-lembaga hukum pun sepatutnya bermula juga dari saat manusia-manusia yang pertama.
Permulaan hukum internasional dapat kita lacak kembali mulai dari wilayah Mesopotamia pada sekitar tahun 2100 SM, dimana telah ditemukannya sebuah perjanjian pada dasawarsa abad ke-20 yang ditandatangani oleh Ennamatum, pemimpin Lagash dan pemimpin Umma. Dalam abad pertengahan ketika bangsa Romawi sedang mengalami masa kejayaan, Hukum Romawi yang pada waktu itu dianggap paling sempurna dan telah banyak digunakan di berbagai negara. Byzantum sebuah kota di Italia menjadi pusat perniagaan. Dalam perniagaan yang semakin ramai timbullah hal-hal yang tidak lagi dapat diselesaikan dengan hukum Romawi. Persoalan dangan dan perselisihan antara pedagang terpaksa harus deselesaikan oleh mereka sendiri.
Pada makalah ini kami akan membahas tentang sejarah hukum dagang yang bermula dari sejarah hukum dagang internasional dan kemudian di akhiri dengan sejarah hukum dagang di Indonesia. Sejarah hukum dagang internasional bermula dari Romawi dan Yunani, karena hampir dari seluruh dunia ini dapat kita jumpai unsur-unsur Romawi dan Yunani. Walaupun pengaruh bangsa Romawi dan Yunani tidaklah mengambil alih akan kedudukan hukum di negara lainnya. Sebab dengan adanya proses terjadilah percampuran pandangan-pandangan hukum yang datang dengan pandangan-pandangan hukum yang menerimanya. Hal ini terlihat dengan diadakannya kodifikasi akan hukum dagang yang berlaku disetiap negara.

B.     Rumusan Masalah

Saat kita berbicara masalah hukum dagang, tentunya kita akan bertanya-tanya tentang bagaimana sejarah lahirnya hukum dagang itu sendiri. Pada makalah ini kami akan membahas tentang sejarah hukum dagang internasional yang bermula pada bangsa Romawi dan bagaimana sejarah hukum dagang di Indonesia?










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Dagang
Hukum dagang timbul karena adanya kaum pedagang. Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan. atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan. Hukum dagang juga bisa dikatakan hukum perdata khusus bagi kaum pedagang.

B.     Sejarah Hukum Dagang Internasional
Dibawah ini akan dijelaskan beberapa sejarah hukum dagang dari Internasional, diantaranya:[1]
  1. Hukum Dagang di Romawi-Jerman
Pada awalnya hukum yang berlaku di masing-masing negara di Eropa Kontinental adalah hukum kebiasaan. Namun dalam perkembangan jaman hukum kebiasaan tersebut menjadi lenyap oleh karena adanya penjajahan oleh bangsa Romawi dan adanya anggapan bahwa hukum Romawi lebih sempurna daripada hukum asli negara mereka sendiri, sehingga diadakanlah resepsi (perkawinan/percampuran) hukum.
Hukum Romawi dianggap lebih sempurna karena sejak abad ke-1 ahli hukum Yunani Gajus Ulpanus telah menciptakan serta mempersembahkan suatu sistem hukum kepada bangsa dan negaranya, bahkan pada abad ke-6, Kaisar Romawi Timur Justinian I dapat menyajikan kodifikasi hukum Romawi dalam kitab yang diberi nama Corpus Juris Civils. Anggapan hukum Romawi sempurna timbul atas hasil penelitian para Glossatoren (pencatat/peneliti) dalam abad pertengahan.
Faktor penyebab lainnya hukum Romawi diresepsi oleh negara-negara di Eropa Kontinental adalah karena banyaknya mahasiswa dari Eropa Barat dan Utara yang belajar khususnya hukum Romawi di Perancis Selatan dan di Italia yang pada saat itu merupakan pusat kebudayaan Eropa Kontinental. Sehingga para mahasiswa tersebut setelah pulang dari pendidikannya mencoba menerapkannya dinegaranya masing-masing walaupun hukum negara asalnya telah tersedia.
Selain itu kepercayaan pada Hukum alam yang asasi juga merupakan faktor yang mendukung diresepsinya hukum Romawi, karena hukum alam dianggap sempurna dan selalu berlaku kapan saja dan di mana saja. Hukum alam ini pada saat itu selalu disamakan dengan hukum Romawi.
  1. Hukum Dagang di Perancis
Sebelum adanya unifikasi hukum oleh Kaisar Napoleon Bonaparte, Hukum yang berlaku di Perancis bermacam-macam yaitu hukum Germania (Jerman) dan hukum Romawi. Di bagian utara dan tengah berlaku hukum lokal (pays de droit coutumier) yakni hukum kebiasaan Perancis kuno yang berasal dari hukum Jerman, sedangkan pada daerah selatan yang berlaku adalah hukum Romawi (pays de droit ecrit) yakni telah dikodifikasi dalam Corpus Juris Civils dari Kaisar Romawi Justinian I. Di samping hukum perkawinan adalah hukum yang ditetapkan oleh Gereja Katolik ialah hukum Kanonik dalam Codex Iuris Canonici dan berlaku di seluruh Perancis.
Dengan berlakunya berbagai hukum tersebut, maka di Perancis dirasakan tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum. Oleh karena itu timbul kesadaran akan pentingnya kesatuan hukum/unifikasi hukum. Unifikasi hukum ini akan dituangkan ke dalam suatu buku yang bernama Corpus de lois. Gagasan unifikasi hukum ini sesungguhnya telah timbul sejak abad XV (Raja Louis XI) yang kemudian dilanjutkan oleh berbagai parlemen propinsi pada abad XVI dan para ahli hukum seperti Charles Doumolin (1500 – 1566), Jean Domat (1625 – 1696), Robert Joseph Pothier (1699 – 1771), dan Francois Bourjon.
Namun pada akhir abad XVIII dapat diterbitkan tiga buah ordonansi mengenai hal-hal yang khusus dan yang diberi nama ordonansi daguesseau. Ordonansi yang dimaksud adalah L’ordonance sur les donations (1731), L’ordonance sur les testaments (1735), dan L’ordonance sur les substituions fideicommisaires (`1747).
Tanggal 21 Maret 1804 terwujudlah kodifikasi Perancis dengan nama Code Civil des Francais yang diundangkan sebagai Code Napoleon pada tahun 1807. Kodifikasi hukum ini merupakan karya besar dari Portalis selaku anggota panitia pembentuk kodifikasi hukum tersebut, selain itu kodifikasi hukum ini merupakan kodifikasi hukum nasional yang pertama dan terlengkap serta dapat diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada. Sehingga pada saat itu timbulah paham Legisme dengan mottonya “Di luar undang-undang tidak ada hukum”.
Sumber hukum kodifikasi tersebut merupakan campuran asas-asas hukum Jerman dan hukum Gereja (hukum Kanonik) yaitu hukum kebiasaan (coutumes), terutama kebiasaan Paris (coutume de Paris), ordonansi-ordonansi Daguesseau, tulisan-tulisan dari pakar hukum seperti Poithier, Domat, dan Bourjon, serta hukum yang dibentuk sejak revolusi Perancis sampai terbentuknya kodifikasi hukum tersebut.
Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa di negara Perancis yang semula memberlakukan bermacam-macam hukum dengan berbagai tahap, akhirnya pada tahun 1807 dapat memproklamirkan/diundangkan buku Code Civil des Francais atau Code Napoleon yang merupakan kodifikasi hukum yang pertama di dunia.


  1. Hukum Dagang di Belanda
Seperti halnya di Perancis, di negara Belanda, hukum yang mula-mula berlaku adalah hukum kebiasaan yaitu hukum Belanda kuno. Namun akibat penjajahan Perancis (1806 – 1813) terjadilah perkawinan hukum Belanda kuno dengan Code Civil.
Tahun 1814, setelah Belanda merdeka dibentuklah panitia yang dipimpin oleh J.M. Kemper untuk menyusun kode hukum Belanda berdasarkan Pasal 100 Konstitusi Belanda. Konsep kode hukum Belanda menurut Kemper lebih didasarkan pada hukum Belanda kuno, namun tidak disepakati oleh para ahli hukum Belgia (pada saat itu Belgia masih bagian dari negara Belanda), karena mereka lebih menghendaki Code Napoleon sebagai dasar dari konsep kode hukum Belanda.
Setelah Kemper meninggal (1824), ketua panitia diganti oleh Nicolai dari Belgia. Akibatnya kode hukum Belanda sebagian besar leih didasarkan pada Code Napoleon dibandingkan hukum Belanda kuno. Namun demikian susunannya tidak sama persis dengan Code Napoleon, melainkan lebih mirip dengan susunan Institusiones dalam Corpus Juris Civils yang terdiri dari empat buku.
Dalam hukum dagang Belanda tidak berdasar pada hukum Perancis melainkan berdasar pada peraturan-peraturan dagang yang dibuat sendiri yang kemudian menjadi himpunan hukum yang berlaku khusus bagi para golongan pedagang. Sejarah perkembangan hukum dagang Belanda ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum dagang yang di Perancis Selatan dan di Italia.
Sampai meletusnya Revolusi Perancis, hukum dagang hanya berlaku bagi golongan pedagang saja (kelompok gilde). Perkembangan hukum dagang ini cepat sekali yaitu sebagai berikut pada abad XVI – XVII adanya Pengadilan Saudagar guna menyelesaikan perkara-perkara perniagaan, pada abad XVII adanya kodifikasi hukum dagang yang belum sepenuhnya dilaksanakan, tahun 1673 dibuat Ordonance du Commerce oleh Colbert, dan tahun 1681 lahir Ordonance du Marine.
Sesudah revolusi Perancis, kelompok gilde dihapus dan hukum dagang juga diberlakukan untuk yang bukan pedagang, sehingga hukum dagang dan hukum perdata menjadi tida terpisah. Walau dalam kenyataannya pemisahaan tersebut tetap terjadi.
Mengenai kodifikasi dapat diketengahkan, bahwa maksud dari kodifikasi adalah agar adanya kepastian hukum secara resmi dalam suatu sistem hukum tertentu. Akan tetapi masyarakat terus berkembang, sehingga hukumnya dituntut untuk ikut terus berkembang. Dengan metode kodifikasi dalam suatu sistem hukum yang terjadi adalah hukum selalu tertinggal di belakang perkembangan masyarakat, karena banyak masalah-maslaah yang tak mampu diselesaikan oleh kodifikasi hukum.
Kodifikasi tidak lagi dianggap sebagai suatu produk yang dapat mengatur masyarakat secara keseluruhan dan secara sempurna, melainkan masih tercipta kekosongan hukum dalam arti masih banyak hal-hal yang belum diatur. Maka alam menyelesaikan masalah-masalah yang belum diatur tersebut dipergunakan yurisprudensi dan penafsiran teleologis di samping kodifikasi. Meskipun di negara Belanda tidak berlaku asas stare decisses seperti di Inggris, yurisprudensi tetap dapat terjamin karena adanya kontrol dari pengadilan yang lebih tinggi terhadap pengadilan yang lebih rendah.
Dengan demikian bila dibandingkan dengan perkembangan hukum di Inggris, maka perkembangan hukum di Belanda adalah terbalik. Mula-mula kodifikasi yang kemudian menjadi undan-undang menjadi bukanlah satu-satunya sumber hukum (legisme), karena kodifikasi tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang timbul kemudian, selain itu yurisprudensi juga mempunyai tempat yang penting dalam sistem hukum Belanda.

C.    Sejarah Lahirnya Hukum Dagang di Indonesia
Pembagian Hukum privat (sipil) ke dalam Hukum Perdata dan Hukum Dagang sebenarnya bukanlah pembagian yang asas, tetapi pembagian sejarah dari Hukum Dagang.
Bahwa pembagian tersebut bukan bersifat asasi, dapat kita lihat dalam ketentuan yang tercantum dalm pasal 1 KUHD yang menyatakan: "Bahwa peraturan-peraturan KUHS dapat juga dijalankan dalam penyelesaian soal-soal yang disinggung dalam KUHD terkecuali dalam penyelesaian soal-soal yang semata-mata diadaka oleh KUHD itu.”
Kenyataan-kenyataan lain yang membuktikan bahwa pembagian itu bukan pembagian asasi adalah:
  1. Perjanjian jual beli yang merupakan perjanjian terpenting dalam bidang perdagangan tidaklah ditetapkan dalam KUHD.
  2. Perjanjian pertanggungan (asuransi) yang sangat penting juga bagi soal keperdatan ditetapkan dalam KUHD.
Adapun perkembangan Hukum Dagang sebenarnya telah dimulai sejak abad pertengahan di Eropa, kira-kira tahun 1000 sampai tahun 1500. Asal mula perkembangan hukum ini dapat dihubungkan dengan terjadinya kota-kota Eropa Barat. Pada zaman itu di Italia dan Perancis Selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genua, Florence, Vennetia, Marseille, Barcelona dan lain-lain).[2]
Hukum Romawi (Corpus Iuris Civilis) ternyata tidak dapat menyelesaikan seluruh perkara-perkara yang timbul di bidang perdagangan. Oleh karena itulah di kota-kota Eropa Barat disusun peraturan-peraturan hukum baru yang berdiri sendiri disamping hukum Romawi yang berlaku.
Hukum yang baru ini berlaku bagi golongan pedagang dan disebut "Hukum Pedagang" (Koopmansrecht). Kemudian pada abada ke-16 dan ke-17 sebagian besar kota di Perancis mengadakan pengadilan-pengadilan istimewa khusus menyelesaikan perkara-perkara di bidang perdagangan (pengadilan pedagang).
Hukum pedagang ini pada mulanya belum merupakan unifikasi (berlakunya satu sistem hukum untuk seluruh daerah), karena berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap daerah mempunyai hukum pedagangan sendiri-sendiri yang berlainan satu sama lainnya. Kemudian disebabkan bertambah eratnya hubungan perdagangan antar daerah, maka dirasakan perlu adanya kesatua hukum diantara hukum pedagang ini.
Oleh karena itu di Perancis pada abad ke 17 diadakanlah kodifikasi dalam hukum pedagang; Menteri Keuangan dari Raja Louis XIV (1643-1715) yaitu Colbert membuat suatu peraturan "Ordonance Du Commerce" (1673). Dan pada tahun 1681 dibuat Ordonnance de la Marine.[3]
Peraturan ini mengatur hukum pedagang ini sebagai hukum untuk golongan tertentu yakni kaum pedagang. Ordonance Du Commerce ini pada tahun 1681 disusul degan peraturan lain yaitu "Ordonansi De La Marine" yang mengatur hukum perdagangan laut (untuk pedagang-pedagang kota pelabuhan).
Pada tahun 1807 di Perancis di samping adanya "Code Civil Des Francais" yang mengatur Hukum Perdata Perancis, telah dibuat lagi suatu kitab undang-undang Hukum Dagang tersendiri yakni "Code De Commerce".
Dengan demikian pada tahun 1807 di Perancis terdapat hukum dagang yang dikodifikasikan dalam Code De Commerce yang dipisahkan dari Hukum Perdata yang dikodifikasikan dengan Code Civil. Code De Commerce ini membuat peraturan-peratuan hukum yang timbul dalam bidang perdagangan sejak zaman pertengahan. Adapun yang menjadi dasar bagi penyusun Code De Commerce (1807) itu antara lain: Ordonance de Commerce (1673) dan Ordonance de La Marine (1671) tersebut. Kemudian kodifikasi-kodifikasi Hukum Perancis tahun 1807 (yakni Code Civil dan Code Commerce) dinyatakan berlaku juga di Netherland pada tahun 1838.
Atas perintah Napoleon, hukum yang berlaku bagi pedagang dibukukan dalam sebuah buku Code De Commerce (tahun 1807). Disamping itu, disusun kitab-kitab lainnya, yakni Code Civil dan Code Penal. Kedua buku tersebut dibawa dan berlaku di Belanda dan akhirnya dibawa ke Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 1809 Code De Commerce (Hukum Dagang) berlaku di Negeri Belanda.[4]
Dalam pada itu Pemerintah Netherland menginginkan adanya hukum dagang sendiri; dalam usul KUHD Belanda dari Tahun 1819 direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas tiga kitab akan tetapi di dalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dibidang perdagangan akan tetapi perkara-perkara dagang diselesaikan di pengadilan biasa.
Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian disahkan menjadi KUHD Belanda tahun 1838. Akhirnya, berdasarkan asas konkordasi, maka KUHD  Nederland 1838 ini kemudian menjadi contoh bagi pembuatan KUHD Indonesia 1848.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seiring berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Pada akhir abad ke-19, Prof. Molengraaff merencanakan suatu Undang-Undang Kepailitan yang akan menggantikan Buku III dari KUHD Nederland. Rancangan Molengraaff ini kemudian berhasil dijadikan Undang-Undang Kepailitan tahun 1893 (berlaku pada 1896).
Dan berdasarkan asas Konkordansi pula, perubahan ini diadakan juga di Indonesia pada tahun 1906. Pada tahun 1906 itulah Kitab III KUHD Indonesia diganti dengan Peraturan Kepailitan yang berdiri sendiri (di luar KUHD); sehingga semenjak tahun 1906 KUHD Indonesia hanya terdiri atas dua Kitab saja, yakni: "Tentang Dagang Umumnya" dan Kitab II berjudul "Tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban yang Tertib dari Pelayaran".

BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Hukum dagang pada awalnya berasal dari bangsa romawi kuno yang terus berkembang didaerah Eropa Barat yaitu Italia dan Perancis Selatan, hukum dagang dibelanda bermula dari hukum kebiasaan. Karena terjadi penjajahan oleh bangsa perancis, maka terjadilah percampuran antara hukum kebiasaan (Hukum Belanda Kuno) dengan hukum Code Civil. Pemerintah Netherland menginginkan adanya hukum dagang sendiri. dalam usul KUHD Belanda dari Tahun 1819 direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas tiga kitab akan tetapi di dalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dibidang perdagangan akan tetapi perkara-perkara dagang diselesaikan di pengadilan biasa. Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian disahkan menjadi KUHD Belanda tahun 1838. Akhirnya, berdasarkan asas konkordasi, maka KUHD  Nederland 1838 ini kemudian dijadikan contoh bagi pembuatan KUHD Indonesia 1848. Dan berdasarkan asas Konkordansi pula, perubahan ini diadakan juga di Indonesia pada tahun 1906. Lalu dengan asas konkordansi hukum dagang di Indonesia di ganti dengan WvK, dan BW.






DAFTAR PUSTAKA

Hasyim, Farida. 2009. Hukum Dagang. Jakarta: Sinar Grafika.
Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Masriani, Yulies Tiena. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.



[2] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. 8, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 307.
[3] Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika: 2004), hlm. 104.
[4] Farida Hasyim, Hukum Dagang, Cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 7.